MAKALAH
ETIKA PROFESI & HUKUM KESEHATAN
Tentang
MALPRAKTIK KEBIDANAN
Disusun Oleh:
1.
Ike Yuliandari ( 11111300 )
2.
Ike Widyana Garini ( 11111301 )
3.
Indra Yuni Ervianti ( 11111302 )
4.
Kristia Ningrum ( 11111303 )
5.
Lia Retno W.S ( 11111304 )
6.
Lina Octavianti ( 11111306 )
7.
Melania Widya M ( 11111307 )
9.
Yenni Setiani ( 11111325 )
Progam Pendidikan D4 Kebidanan
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2011 – 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu
tanpa ada halangan sedikitpun.
Tujuan
kami membuat makalah ini sebagai tambahan referensi bagi para mahasiswa yang
membutuhkan ilmu tambahan tentang Etika Profesi dan Hukum Kesehatan khususnya
Malpraktik Kebidanan.
Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah membimbing kita
dalam menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada
orang tua yang telah memberikan dukungan bagi kami. Serta tak lupa teman –
teman yang ikut bekerja sama menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Karena kesalahan adalah milik semua orang dan kesempurnaan hanya
milik Allah SWT. Semoga makalah ini dapat berguna dan membantu proses
pembelajaran.
Jombang,
November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.........................................................................................
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................
BAB II ISI
2.1. Pengertian
Malpraktik..............................................................................
2.2. Jenis – jenis Malpraktik............................................................................
2.3. Kajian Kasus Malpraktik..........................................................................
2.4. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana...........................................
2.5. Penanganan Malpraktek di Indonesia......................................................
2.6. Upaya
Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek................
2.7. Tanggapan Mahasiswa Tentang Malpraktek............................................
2.8. Tanggapan Pemerintah Tentang Malpraktek...........................................
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan...............................................................................................
3.2. Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai calon bidan
yang ahli dan professional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban
kita untuk mengetahui lebih dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan
dan wewenang yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga kita
harus meninjau agar tindakan kita tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku.
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian malpraktik ?
2.
Apa saja jenis – jenis malpraktik ?
3.
Bagaimana cara mencegah dan menghadapi tuntutan malpraktek ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian malpraktek
2. Untuk mengetaahui dan memahami jenis-jenis malpraktek
3. Untuk memahami dan menganalisis contoh kasus malpraktek
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dalam menghadapi tuntutan malpraktek
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian malpraktek
2. Untuk mengetaahui dan memahami jenis-jenis malpraktek
3. Untuk memahami dan menganalisis contoh kasus malpraktek
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dalam menghadapi tuntutan malpraktek
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah
yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah
“mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan”
atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan
adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi
kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan
praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan
dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
2.2 Jenis-Jenis Malpraktek
Untuk malpraktek hukum atau
yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang
salah yang berupa kesengajaan, kecerobohan.
v Criminal malpractice yang bersifat sengaja misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal
299 KUHP).
v Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
v Criminal malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung
jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya
3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2.3 Kajian Kasus
Malpraktek
Senin, 24 Maret 2008, Pukul 12.30 WIB
Maulana adalah seorang anak
berusia 18 tahun. Dulunya adalah anak yang mengemaskan dan pernah menjadi juara
bayi sehat. Namun makin hari tubuhnya makin kurus. Dan organ tubuhnya tidak
bisa berfungsi secara normal. Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat
imunisasi dari petugas kesehatan. Diduga korban kuat Maulana adalah korban mal
praktek.
Maulana, kini berusia
18 tahun. Namun ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Tidak ada
aktivitas yang bisa dilakukan. Ia juga tidak bisa berbicara. Berat badannya
hanya enam koma delapan kilogram, seperti anak berusia lima tahun. Bungsu dari
empat bersaudara, anak pasangan Lina dan Adul ini mengalami kegagalan multi
organ.
Tragedi ini bermula
saat usianya empat puluh lima hari. Seperti balita pada umumnya, Maulana
mendapatkan imunisasi dari petugas Dinas Kesehatan. Petugas memberikan tiga
imunisasi sekaligus, yaitu imunisasi BCG, imunisasi DPT dan imunisasi Polio.
Namun setelah dua jam
menerima imunisasi, Maulana mengalami kejang-kejang, dan suhu tubuhnya naik
tajam. Sehingga orang tuanya panik dan langsung membawanya ke rumah sakit.
Namun kondisinya justru makin menburuk. Setelah lima hari dirawat, Maulana
malah tidak sadarkan diri, selama tiga minggu. Sejak itu, tubuh Maulana selalu
sakit sakitan dan hampir seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi normal.
Dokter mendiagnosa
Maulana mengalami radang otak. Namun setelah itu, satu persatu penyakit akut
menggerogoti kesehatannya. Semakin hari badannya semakin kecil, dan mengerut.
Maulana sering mengalami sesak nafas, dan kejang kejang.
Lina yakin, Maulana
menjadi korban malpraktek. Karena beberapa dokter yang perawat Maulana
menyatakan, anaknya mengalami kesalahan imunisasi.
Kini Lina, hanya bisa
pasrah. Ia merawat Maulana, seperti merawat bayi. Saat makan Maulana tetap
harus disuapi, demikian juga ketika buang air besar dan kencing. Orangtuanya
selalu memakaikan popok.
Sebelum tragedi itu
datang, Maulana adalah bayi yang menggemaskan. Tubuhnya montok, dan sangat
sehat. Bahkan Maulana sempat dinobatkan sebagai pemenang bayi sehat. Karena
lahir dengan bobot tiga koma delapan kilogram dan panjang lima puluh satu
cintimeter.
Orang tua Maulana
sudah berusaha untuk membawa ke rumah sakit di kawasan Kota Siantan, Pontianak.
Namun Maulana tidak juga kunjung sembuh. Orangtuanyapun menyerah.
Yang lebih menyedihkan, Linapun kemudian diceraikan suaminya, di saat harus
menanggung beban berat merawat Maulana. Ayah Maulana kesal dan marah dengan
Lina, karena mengijinkan petugas kesehatan memberikan imunisasi kepada Maulana.
Kini tubuh Maulana
makin lemah, dan tidak berdaya. Ia hanya bisa berbaring ditempat tidur. Jika
ingin menghirup udara segar, linapun membawanya ke luar rumah. Lina sudah tidak
berpikir lagi untuk membawa Maulana ke rumah sakit, karena tidak memiliki
biaya. Sejak anaknya menderita sakit, Lina telah mengeluarkan uang jutaan
rupiah. Bahkan rumahnya dijual untuk biaya pengobatan.
Lina juga beberapa
kali berusaha meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah Kalimantan Barat,
dengan mengajukan tuntutan di pengadilan. Lina kemudian menemui sejumlah
instansi pemerintah daerah, termasuk menemui Walikota Pontianak, dan Gubernur
Kalimantan Barat, untuk menuntut keadilan.
Namun para pejabat
tersebut tidak menanggapi pengaduan Lina. Lina tidak menyerah. Ia kemudian
membawa Maulana ke Jakarta, untuk menemui Menteri Kesehatan. Namun lagi lagi
usahanya kembali menemui jalan buntu.
Lina kemudian memilih
prosedur hukum. Ia melaporkan pemerintah Kalimantan Barat secara pidana, dan
juga menggugatnya secara perdata. Namun di pengadilan, hakim meminta Lina dan
perwakilan pemerintah sebagai tergugat, untuk berdamai. Hasilnya cukup
menjanjikan. Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, berjanji akan menanggung penuh
obat dan kebutuhan perawatan maulana di rumah sakit seumur hidup.
Janji Pemerintah
Daerah Kalimantan Barat, sungguh melegakan. Karena upayanya mencari keadilan,
kini menemui titik terang. Namun harapan lina kembali pupus. Ternyata
kesanggupan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat hanya janji janji kosong.
Setelah berjalan lebih sepuluh tahun, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat tidak
memenuhi janjinya.
Kini Lina hanya bisa
pasrah menerima kenyataan pahit. Lina dan Maulana bersama ketiga anaknya yang
lain, tinggal di rumah sangat sederhana, di Komplek Perumahan Kopri, di kawasan
Pinggiran Sungai Raya Dalam Kabupaten Kubu Raya. Untuk hidup sehari hari, Linapun
membuka warung kecil-kecilan di teras rumahnya.
Lina sebenarnya masih
punya keinginan untuk kembali menggugat Pemerintah Daerah Kalimantan Barat.
Namun ia mengaku tidak lagi memiliki dana. Yang membuat Lina pasrah, adalah
tidak ada dokter yang bersedia menjadi saksi ahli dalam kasus ini.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, meminta pihak pemerintah bertanggungjawab atas kasus yang menimpa Maulana. Menurut Direktur LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus, kasus dugaan mal praktik yang menimpa Maulana, mencerminkan lemahnya tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, meminta pihak pemerintah bertanggungjawab atas kasus yang menimpa Maulana. Menurut Direktur LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus, kasus dugaan mal praktik yang menimpa Maulana, mencerminkan lemahnya tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan.
Aturan atau kebijakan
yang diterapkan sudah kadaluarsa. Sementara hingga saat ini publik sendiri
masih menunggu kapan akan disosialisasikan rancangan undang undang tentang
pasien. Jika UU Pasien sudah ada, diharapkan tidak akan ada lagi Maulana
Maulana lainnya.
Ketua Umum Ikatan
Dokter Indonesia, Fachmi Idris menyatakan, profesi dokter, diikat oleh sebuah
etika profesi dalam sebuah payung Majelis Kode Etik Kedokteran atau MKEK.
Seorang dokter dapat dikatakan melakukan pelanggaran saat praktek, jika sudah
dibuktikan dalam suatu sidang majelis kode etik.
Hukuman yang
dijatuhkan majelis kode etik biasanya berkisar pada skorsing praktek, disuruh
kembali sekolah untuk memperdalam ilmunya hingga dicabut ijin praktek
kedokterannya.
Kasus dugaan mal
praktek seperti kasus Maulana memang tak sedikit jumlahnya. Beberapa kasus yang
sempat terangkat ke masyarakat umumnya terjadi setelah pasca imunisasi, operasi
bahkan tak jarang setelah si pasien berobat ke ahli kesehatan karena sebelumnya
diindikasikan menderita suatu penyakit.
Seperti halnya kasus
kasus sejenis, kasus Maulana pun membutuhkan waktu berbulan bulan bahkan
bertahun tahun duduk dikursi persidangan untuk memperoleh keadilan.
Dan ironisnya
perdebatan sengit menyoal kasus dugaan mal praktik di pengadilan hampir
dipastikan berakhir dengan bertambahnya sakit hati bagi sang korban. Sakit hati
karena kasusnya tak bisa diteruskan, atau bahkan ditolak majelis hakim karena
kurang lengkapnya data pendukung.
LBH Kesehatan, sebagai
wadah bantuan hukum bagi mereka yang merasa abaikan haknya oleh oknum aparat
kesehatan memiliki data yang tidak sedikit. Saat ini saja LBH Kesehatan
membantu menangani 58 kasus dugaam mal praktik di sejumlah wilayah Indonesia.
Sementara kasus yang telah dilaporkan di sejumlah aparat penegak hukum mencapai
130 kasus. Namun ironisnya, hanya sedikit kasus dugaan mal praktek yang maju ke
meja hijau yang menang dalam persidangan.
Upaya hukum untuk
mencari keadilan bagi korban dugan mal praktik kerap berlangsung di sejumlah
ruang pengadilan. Dari upaya hukum pidana, perdata bahkan hingga tun atau tata
usaha negara. Dari catatan LBH Kesehatan, dari beberapa bentuk tata peradilan
tersebut, bisa dibilang peradilan perdatalah yang paling memungkinkan seorang
korban dugaan mal praktik memperoleh haknya. Sementara tata peradilan lainnya
umumnya jauh panggang dari api.
2.4. Pertanggung
Jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang
disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen
Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan
hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam
KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang
melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk
dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai
berikut :
1.
Adanya kemampuan bertanggung jawab pada
petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
2.
Adanya hubungan batin antara petindak
dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan
(culpa).
3.
Tidak adanya alas an penghapus kesalahan
atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak
menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan
dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang
dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada
tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu
pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan
karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua
jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu
menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena
perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana
penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator
haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan
masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi
yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa
menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk
kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang
terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki
melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat
dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa
kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang
larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek
dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga
kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya
berbeda gradasi saja.
2.5. Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum
di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan
hukum “malpraktek”.
Sebagai
profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat
dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin
untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan
antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum
baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal
hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang
melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia
dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal
dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum
kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan
oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan
dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan
sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai
terjemahan dari medic law.
Sejak World
Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1
Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan
tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun
sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi
tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya
masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23
Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari
budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan
pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran)
dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada
pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan
istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh
itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya
bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture)
yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari
penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di
Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan
jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk
penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian
dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala
yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut.
Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan
kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2
(dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam
mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap
masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang
menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung
diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi
merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat
dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal
10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya.
Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya
terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi
profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan
lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang
terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan
membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
2.6. Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan
Malpraktek
Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat tenaga bidan karena adanya malpraktek diharapkan para bidan
dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau
memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya
upaya bukan perjanjian akan berhasil.
b. Sebelum melakukan
intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua
tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi
keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi
yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.7. Tanggapan Mahasiswa Tentang
Malpraktek
Malpraktik itu
bukan urusan Departemen Kesehatan. Tapi jadi tanggung jawab Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia. Kalau menurut kami, jika ada kasus malpraktik
harus segera ditindak, harus dilaporkan kepada yang berwenang. Sebenarnya kami
sangat prihatin terhadap kasus malpraktik yang terjadi. Masalah ini harus
segera diurus sebaik-baiknya sesuai dengan aturan yang ada pada Majelis
Kehormatan.
Malpraktik terjadi
karena tidak ada Undang-Undang Perumah sakitan. Sejak kita merdeka,
undang-undang itu tidak pernah ada. Maka sekarang kita mencoba mengusulkan ke
DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Perumahsakitan. Dengan adanya Undang-Undang
Perumahsakitan, kita harap akan mengurangi tindakan malpraktik.
Lembaga ini
independen berdasarkan UU No 29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Mereka
bertugas menerima, memeriksa, membuat keputusan dan memberikan sanksi atas
pengaduan kasus dugaan malpraktik.
2.8. Tanggapan Pemerintah Tentang
Malpraktek
“Kutipan terjemahan tulisan dr Dick Heller, mewakili
pemerintah”
Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis.
Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis.
Membandingkan
resiko autisme dan resiko pemberian vaksinasi pada anak
sangat sulit untuk mengerti, mengukur dan
mengekspresikan resiko. Angka angka menunjukkan bahwa tiap 100 000 anak
terdapat 91 penyandang gangguan spektrum autisme. Jika 15% dari anak-anak ini
menjadi penyandang autisme sebagai akibat di-vaksinasi MMR maka sebanyak 7326
anak harus divaksinasi untuk dapat satu anak penyandang autisme. Berapa banyak
kasus penyakit mumps , measles dan rubella akan timbul jika anak tidak
di-vaksinasi MMR? Bagaimana rate komplikasi ? Sayang sekali, kami tidak
mempunyai sistim intelejen yang canggih untuk menyelidiki efek dari perubahan
pemberian imunisasi terhadap kesehatan masyarakat. Namun kami tahu ssbahwa
untuk measles saja angka kematian 1 - 2 dari tiap 1000 orang yang terinfeksi di
Amerika Serikat dan 1 dari 1000 akan terkena encephalitis beberapa diantaranya
akan terkena kerusakan otak permanen. Jika semua anak yang tidak divaksinasi
terjangkit measles maka rate komplikasi menyebutkan bahwa penyetopan vaksinasi
akan sangat berbahaya - jauh lebih berbahaya dari pada usaha pencegahan insiden
timbulnya gangguan autisme.
Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi.
Secara umum dapat saya katakan tidak terdapat bukti bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan autisme dan tidak terdapat cukup bukti pula untuk mengatakan bahwa vaksin MMR tidak menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahay
Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi.
Secara umum dapat saya katakan tidak terdapat bukti bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan autisme dan tidak terdapat cukup bukti pula untuk mengatakan bahwa vaksin MMR tidak menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahay
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data kajian yang telah kita peroleh
dapat disimpulkan bahwa seorang bidan harus berhati-hati dalam memberikan
pelayanan pada pasiennya. Sehingga pelayanan atau tindakah yang kita berikan
tidak merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan pasien.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkualitas
Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangannya.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkualitas
Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangannya.
3.2 Saran
Pasien harus dipandang sebagai subjek yang memiliki pengaruh besar atas
hasil akhir layanan bukan sekadar objek. Hak – hak pasien harus di penuhi
mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan
ketidak puasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar